“Tanamlah air mata, supaya kelak kalian menuai kegembiraan.
Mengapa kalian harus gemetar menghadapi kuasa kejahatan? Jauh di atas sana Tuhan bersemayam, sebagaimana Dia bersemayam di dalam hatimu.
Parit boleh penuh dengan mayatmu, tapi kaulah nanti yang akan memperoleh kemenangan.”
– hal. 389
Quo Vadis? mengetengahkan Kerajaan Romawi dibawah pemerintahan Nero, sekitar 34 tahun setelah kematian Kristus. Kehidupan para bangsawan Romawi pada masa itu penuh pesta pora dan kecabulan, mereka menyembah dewa-dewa yang tak terhitung banyaknya, bahkan Nero sendiri pun disebut dewa. Yang hari ini kita sebut dengan “asal bapak senang”, demikianlah rakyat Romawi pada masa itu. Mereka menyanjung-nyanjung sang Caesar walaupun sebenarnya amat membencinya, mereka menantikan saat-saat Nero bertandang ke kota mereka, karena itu berarti pertunjukan dan pembagian gandum. Nero atau Ahenobarbus (si ‘Janggut Perunggu’) sendiri adalah pelawak gendut yang gila, pengecut dan berhati keji.
Kisah dibuka dengan seorang bangsawan, Petronius, yang dikenal sebagai sang Penilai Keindahan dan kesayangan Nero. Keponakannya, Marcus Vinicius, suatu hari datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta. Gadis yang ketiban cinta Vinicius adalah seorang dari bangsa barbar yang bernama Lygia. Maka disusunlah rencana untuk merampas Lygia dari tempat dimana ia tinggal. Petronius bicara kepada Nero supaya Lygia diserahkan kepada Vinicius, tapi sebelumnya ia harus berada di istana raja beberapa waktu. Disanalah Lygia menyaksikan segala ketidaksenonohan yang terjadi dalam pesta Caesar. Padahal Lygia masih amat suci dan ia adalah pengikut Kristus yang taat.
Kaburnya Lygia dari istana memancing berita-berita palsu, termasuk bahwa Lygia telah menenung anak Caesar dan Poppaea, si Augusta Kecil, sehingga ia meninggal. Vinicius tanpa lelah mencari Lygia karena cinta yang membara. Dia terus berjalan sampai ke Ostrianum, dimana Petrus, Rasul yang Agung, berkhotbah dan memberkati domba-dombanya. Diapun ikut mendengar ajaran Petrus dan lama-kelamaan makin terpesona dengan ajaran baru ini.
Suatu saat ketika sang Caesar mengunjungi Antium, ia berhasrat untuk membuat sajak yang menandingi Iliad-nya Homerus. “Namun aku belum pernah melihat kota terbakar,” keluhnya. Mendengar ini, Tigellinus, salah seorang bawahan Nero yang licik mengatur agar seluruh kota Roma dibakar. Dan Roma benar-benar menyala oleh api yang ganas. Akhirnya dikabarkan berita bahwa orang-orang Kristen-lah yang membakar kota Roma. Pembantaian besar-besaran dan banjir darah pun dimulai. Semuanya disajikan dalam “pertunjukan-pertunjukan” sadis yang tak terbayangkan.
Melalui pena Sienkiewicz, pembaca disuguhi kisah keteguhan iman orang-orang Kristen yang menghadapi ancaman maut pada masa itu. Mereka menerima kematian dengan wajah ditengadahkan ke langit, dan sebelum ajal tiba, mereka melihat sesuatu yang membuat wajah mereka bercahaya dalam kedamaian. Rasul Petrus, yang sempat putus asa karena domba-domba yang dipercayakan Kristus kepadanya telah habis dibantai Nero, akhirnya melihat Tuhan pada saat ia hendak meninggalkan Roma. Ia akhirnya sadar bahwa kebenaran takkan bisa dihancurkan oleh kekejian Nero, takkan bisa dibendung oleh legiun pasukannya, dan walaupun sudah amat banyak darah yang tertumpah, itu hanya akan membuat orang-orang Kristen semakin banyak. Roma diserahkan ke tangan Petrus, yang tadinya kota kecabulan menjadi kota bagi kemuliaan Kristus.
Banyak bagian dari kisah ini yang amat berkesan bagi saya. Cinta Vinicius dan Lygia yang semula hanya nafsu menggebu-gebu dan akhirnya berkembang menjadi cinta sejati dalam roh, dan akhirnya Vinicius sendiri menerima Kristus dan mencintai Dia sepenuh jiwa seperti Lygia. Pertobatan Chilo sang pengkhianat. Iman yang ditunjukkan orang-orang Kristen sewaktu maut menjemput. Hikmat dan kekuatan yang dimiliki Petrus, sang Rasul yang hanya seorang tua bungkuk berpakaian sederhana.
Bab-bab pertama terus terang agak membuat saya bosan, karena banyak menjelaskan tetek bengek kehidupan Romawi dan banyak sekali catatan kaki. Tapi setelah menemukan alur ceritanya, rasanya kisah ini cukup enak dibaca, tidak seberat yang saya bayangkan sebelumnya. Quo Vadis mungkin dianggap kisah yang penuh siksa dan penderitaan, tapi di dalamnya juga terkandung makna bahwa dibalik semua itu pasti ada pengharapan baru. Ada yang mati tapi kemudian ada yang lahir. Setelah kegelapan yang paling pekat sekalipun pasti ada cahaya fajar. Dan bagi orang-orang yang meyakini yang sama dengan yang saya yakini, apabila kita bertanya “Quo Vadis, Domine?”, sesungguhnya Dia tidak kemana-mana. Tapi dibutuhkan iman yang besar untuk melihat itu.
Detail buku:
Quo Vadis?, oleh Henryk Sienkiewicz
552 halaman, diterbitkan November 2009 oleh Gramedia Pustaka Utama (pertama kali diterbitkan tahun 1896)
My rating: ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
Reblogged this on Baca Klasik.
LikeLike