The Bridge of San Luis Rey – Thornton Wilder

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah Firman TUHAN.

Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8-9)

Siapakah dari umat manusia yang mengetahui rencana Tuhan, dan memahami rancangan-rancangan-Nya? Ketika sesuatu yang buruk terjadi, bukankah kita bertanya, “Mengapa?” “Mengapa hal ini terjadi?” “Mengapa hal itu menimpa kami?”, atau “Mengapa hal ini menimpa mereka?”

Pertanyaan yang sama terpatri di benak Brother Juniper, seorang biarawan Fransiskan, setelah peristiwa putusnya jembatan gantung San Luis Rey di Peru yang terkenal. Adapun jembatan gantung yang menghubungkan kota Lima dan Cuzco tersebut ditenun oleh peradaban suku Inca dari abad yang telah berlalu, dan masih dilewati ratusan orang setiap harinya, sampai hari nahas itu tiba.

Pada siang hari, tanggal 20 Juli 1714, jembatan gantung San Luis Rey putus dan melemparkan lima orang ke dalam jurang di bawahnya. Peristiwa ini menggugah masyarakat Lima begitu rupa dan mengusik hati Brother Juniper, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk mengadakan suatu “penelitian”, untuk menyelidiki kehidupan kelima orang korban. Ia berusaha menemukan jawaban mengapa Tuhan memilih kelima orang tersebut, untuk menunjukkan demostrasi kebijaksanaan-Nya, pada hari itu.

“Why did this happen to those five? If there were any plan in the universe at all, if there were pattern in a human life, surely it could be discovered mysteriously latent in those lives so suddenly cut off. Either we live by accident and die by accident, or we live by plan and die by plan.”

Selama enam tahun Brother Juniper mengetuk semua pintu di Lima, mengajukan ribuan pertanyaan, dan mencatat di buku catatannya semua fakta, kecil dan besar, penting maupun kurang penting, terkait kelima orang korban San Luis Rey, untuk membuktikan bahwa kelima nyawa yang hilang tersebut sesungguhnya adalah satu kesatuan yang utuh. Penelitian ini membawanya menguak lembar demi lembar kehidupan Dona Maria, La Marquesa de Montemayor, seorang wanita bangsawan yang tidak dicintai oleh putrinya semata wayang; Pepita, gadis muda cerdas pelayan sang Marquesa; Camila Perichole, seorang aktris luar biasa cantik yang dikagumi oleh seantero Peru; Paman Pio, lelaki paruh baya yang merupakan pelatih sekaligus “ayah” La Perichole; dan pemuda kembar yatim piatu Manuel dan Esteban, yang memiliki kisah hidup muram mereka sendiri.

Setiap dari mereka mencintai dan berjuang untuk hidup dengan cara masing-masing; hampir setiap detail dari kehidupan mereka dikumpulkan oleh Brother Juniper dengan harapan samar bahwa entah bagaimana detail-detail tersebut akan memunculkan diri begitu rupa dan membuka tabir rahasia lima nyawa yang direnggut. Apakah Brother Juniper akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang selama ini menghantui dirinya, dan mungkin juga hampir setiap orang di muka bumi ini?

Poster film The Bridge of San Luis Rey (2004)

Kekuatan utama novel pendek ini adalah gaya penulisan Thornton Wilder yang indah. Sebenarnya saya terlebih dahulu mengetahui versi film dari novel ini, secara tidak sengaja menemukan VCDnya beberapa tahun yang lalu. Versi film tahun 2004 dibintangi antara lain Gabriel Byrne sebagai Brother Juniper, Kathy Bates sebagai Marquesa de Montemayor, Harvey Keitel sebagai Uncle Pio, dan Robert De Niro sebagai Archbishop of Peru; dan menurut saya merupakan adaptasi yang cukup bagus. Jika dulu, saat pertama selesai menonton filmnya, saya akan duduk diam termenung beberapa saat, sekarang lebih lagi saat saya menyelesaikan bukunya. Alih-alih memberikan jawaban, buku ini mengajak pembaca untuk merenung. Kesimpulan yang saya ambil dalam hati mengenai buku ini adalah: kita mungkin tidak mengetahui rahasia Tuhan, mengapa Ia berbuat begini dan begitu. Namun satu hal yang mutlak adalah; ia menganugerahi masing-masing kita dengan cinta. Inilah hal yang terpenting, di atas segalanya.

“But soon we shall die and all memory of those five will have left the earth, and we ourselves shall be loved for a while and forgotten. But the love will have been enough; all those impulses of love return to the love that made them. Even memory is not necessary for love.

There is a land of the living and a land of the dead and the bridge is love, the only survival, the only meaning.”


Tentang Pengarang

Thornton Wilder, novelis dan penulis naskah sandiwara berkebangsaan Amerika, lahir pada tanggal 17 April 1897 di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat. Beliau menghabiskan sebagian masa kecil di wilayah Amerika Selatan karena pekerjaan ayahnya. Sebagai seorang yang punya intelektualitas tinggi, beliau mengenyam pendidikan di Yale University dan meraih gelar master dalam bahasa Prancis di Princeton. Beliau juga tergabung dalam komunitas sastra Alpha Delta Phi Fraternity. Setelah lulus beliau melanjutkan studi di Roma, Italia, dan mengajar bahasa Prancis di New Jersey, dan kemudian di University of Chicago. Novel pertamanya, The Cabala, dirilis pada tahun 1926. Menyusul di tahun 1927, novel keduanya, The Bridge of San Luis Rey, sukses di pasaran dan membuatnya memenangkan hadiah Pulitzer Prize pertamanya. Beliau memenangkan hadiah Pulitzer dua kali lagi untuk kategori Drama untuk naskah sandiwara Our Town (1938) dan The Skin of Our Teeth (1942).  Novel The Eighth Day (1967) juga dianugerahi penghargaan National Book Award for Fiction. Di tahun 1998, American Modern Library memilih The Bridge of San Luis Rey sebagai salah satu dari 100 novel terbaik di abad 20. Novel ini juga dikutip oleh PM Inggris Tony Blair dalam pidato dalam memorial service korban tragedi 11 September 2001. Thornton Wilder meninggal dunia tanggal 7 Desember 1975 pada usia 78 tahun.

My 2nd review for The Classics Club Project


Detail buku:
“The Bridge of San Luis Rey”, oleh Thornton Wilder
148 halaman, diterbitkan tahun 1986 oleh Harper Perennial (pertama kali diterbitkan 1927)
My rating: ♥ ♥ ♥ ♥ ♥

Advertisement

16 thoughts on “The Bridge of San Luis Rey – Thornton Wilder

  1. Buku ini sepertinya unik, ide ceritanya begitu simple tapi membuat kita jadi berpikir dan merenung apakah memang di setiap peristiwa/tragedi ada maksud Tuhan di baliknya ? Selain hal di atas , saya tertarik untuk membaca buku ini karena dengan kesederhanaan ceritanya, buku ini bisa meraih pulitzer prize dan di blog ini juga ada dua karya thornton wilder (satunya our town) yang mendapat bintang 5…..:)

    Like

  2. Aku sudah baca reviewmu yg ini dulu (tapi lupa komentar di mana). Gara2 reviewmu ini aku jadi penasaran sama buku ini. Aku sering menemukan buku yg pendek alias novella jauh lebih berkesan daripada novel meski dari penulis yg sama. Kurasa buku ini mungkin seperti itu, dia pendek tapi dalam, menyisakan pertanyaan yg kita harus renungkan sendiri, sehingga mau tak mau kita akan mencari jawabannya sendiri, berpikir, menemukan kesan kita sendiri.

    Like

What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s