[Review in Bahasa Indonesia and English]
DESKRIPSI KEHIDUPAN MISKIN. Itu yang ada di benak saya ketika selesai membaca separuh buku tebal ini. Seperti yang disampaikan di Kata Pengantar yang ditulis oleh Anna Quindlen, A Tree Grows in Brooklyn memang bukanlah buku yang mentereng. Dalam arti, jika disandingkan dengan buku-buku klasik lain, buku ini lebih mirip potret kaum imigran di Amerika pada awal abad 20. Plot Tree pun tidak dapat disimpulkan dalam satu kalimat, karena banyaknya detail yang disampaikan; detail-detail yang berlangsung pelan, pasti, dan penuh liku, sama seperti kehidupan itu sendiri.
Tree dibuka dalam adegan di musim panas di New York tahun 1912 yang mana dua orang kakak-beradik, Francie dan Neeley Nolan, melakukan kegiatan yang bisa kita sebut “berbelanja”. Bedanya, kegiatan berbelanja mereka didahului dengan instruksi mendetail dari ibu mereka, Katie, dan dengan budget yang amat terbatas. Dari sana pembaca akan dibawa mengenal para tokoh: Mary Rommely, ibu ketiga gadis Rommely; Sissy, Evy, dan Katie; Katie Rommely (yang kemudian menjadi Katie Nolan) ibu Francie dan Neeley, sosok wanita tegar dan pekerja keras; Johnny Nolan suami Katie yang tampan dan jago bernyanyi namun tukang mabuk, dan juga lebih dalam mengenai Francie dan Neeley. Dikisahkan bagaimana Katie, dengan arahan Mary Rommely, mewajibkan anak-anaknya untuk membaca satu halaman Alkitab dan satu halaman Shakespeare setiap malam. Dikisahkan bagaimana kerja keras Katie untuk membiayai pendidikan bagi anak-anaknya, walau dengan kondisi terhimpit kemiskinan. Dan bagaimana mereka menabung dalam celengan kaleng yang dipaku di bagian dalam laci. Francie yang suka mengamati lingkungan sekitar, suka membaca (ia bertekad membaca satu buku sehari dan rajin mengunjungi perpustakaan) dan kemudian menulis, dan seperti remaja lainnya, bergumul untuk bisa diterima dalam pergaulan.
“Kuncinya ada dalam menulis dan membaca. Kau bisa membaca. Setiap hari, kau harus membacakan satu halaman dari buku yang bagus untuk anakmu. Setiap hari, sampai anak itu belajar membaca. Lalu dia harus membaca setiap hari, aku tahu itu rahasianya.”
Buku ini mengumpulkan detail-detail kehidupan sehari-hari yang nyata dan alami, hal-hal yang sebenarnya “biasa” dikisahkan dengan cantik oleh Betty Smith. Untungnya juga gaya penceritaan yang mengalir dengan enak sangat membantu saya menikmati buku setebal 664 halaman ini walau kadang plotnya terasa lambat, namun tidak membosankan. Pendapat saya tentang penulis wanita Amerika pun berubah setelah membaca novel biografis seorang Betty Smith. (Saya agak kurang sreg dengan karya-karya L.M. Montgomery dan Louisa May Alcott, yang menurut saya too sweet for my taste).
Penerbit Gramedia juga membungkus buku ini dengan cover yang cantik, namun menurut saya kurang pas menggambarkan isi buku (nggak ada kesan “miskin” sama sekali). Buku ini adalah bukti nyata bahwa hal-hal yang sederhanapun bisa jadi indah dan bermakna. Dan sayapun bisa mencoret kata “miskin” dalam kalimat pertama review ini, menjadi DESKRIPSI KEHIDUPAN. Karena dua kata inilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang berusaha disampaikan oleh A Tree Grows in Brooklyn.
“Segala sesuatu berjuang untuk hidup. Lihat pohon di luar yang tumbuh dekat selokan itu. Pohon itu tidak mendapat sinar matahari, dan hanya kena air kalau hujan. Pohon itu tumbuh dari tanah kering. Dan pohon itu kuat karena perjuangan kerasnya untuk hidup membuatnya kuat. Anak-anakku akan kuat seperti itu.”
Detail buku:
Sebatang Pohon Tumbun di Brooklyn (judul asli: A Tree Grows in Brooklyn), oleh Betty Smith
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Rosemary Kesauly
664 halaman, diterbitkan tahun 2011 oleh Gramedia Pustaka Utama (pertama kali diterbitkan tahun 1943)
My rating: ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
N.B.: Terima kasih untuk yang namanya tidak boleh disebut, sudah menghadiahkan buku ini. Maaf kalo lama baru direview. 😀
Review in English:
A Description of Poor Living. That’s what I had in mind when I got to the middle of the book. The main focus of the book set at the beginning of 20th century in America was about how a family struggles with poverty. And how a determined mother, Katie Nolan, strived to get an education for her two children; Francie and Neeley. The book is thick, full of stories of everyday life, and the plot is slow sometimes, but Betty Smith’s writing style made it flowing beautifully. It is not a kind of book that comes with a “BOOM” or a “BANG” but from its simplicity, from its lessons, I can say that this is a great book, a kind of book that you can (and should) read over and over again in your life. And finally, I can cross out the word “poor” from the first sentence of this review, which leaves “A Description of Living.” Because that is what A Tree Grows in Brooklyn is all about.
17th review for The Classics Club Project
Hmm…kayaknya buku yg kudu dibaca dengan santai, baru terasa indahnya.
Can’t wait for the Nolans to arrive at my house… 😀
LikeLike
Yap, bener. Begitu nutup halaman terakhir buku ini, aku langsung pengen baca lagi. (hmmm…tapi tak mungkin)
Sabar yah, sopir keluarga Nolan masih repot XD
LikeLike
salah satu buku klasik terkeren yang aku baca
LikeLike
Setuju, buku ini keren!
LikeLike
Aku mau baca ini >.<
LikeLike
Yuk baca, bagus lho!
LikeLike
Reblogged this on Baca Klasik.
LikeLike
Di surabaya beli di mana ya ? Togamas ama gramedia pada kosong. Boleh pinjam gak yaa… hehehe
LikeLike
Coba beli online saja 🙂
LikeLike
ngebaca review ini, bikin pengen baca bukunya.. karena kangeenn.. baca buku yang menceritakan keseharian yang ‘biasa’ tapi bisa menimbulkan ‘kehangatan’, sesuatu yang rada sulit ditemukan di buku2 jaman sekarang 🙂
LikeLike
WOW reviewnya sangat keren, saya sukaaa.. moralnya itu juga ada.. saya mau nyari ahhh 😀 jaman sekarang kebanyakan novel romance gaada yang kayak giniii.. wah makasih reviewnya sangat membantu..
LikeLike