[Review in Bahasa Indonesia and English]
Adalah empat orang gadis sederhana keluarga March yang tinggal di Concord, Massachusetts: Meg, Jo, Beth, dan Amy. Mereka tinggal bersama ibu terkasih yang mereka panggil dengan panggilan sayang Marmee, sementara ayah mereka sedang pergi berjuang dalam perang. Buku ini pada umumnya bercerita tentang kehidupan sehari-hari para gadis March, tentang persahabatan, persaudaraan (sisterhood), pergumulan mereka tentang kemiskinan, sedikit petualangan, harapan, dan juga cinta. Dan yang tak kalah penting, di dalam buku ini diceritakan bagaimana Meg, Jo, Beth, dan Amy memetik pelajaran hidup tentang rasa syukur, pengampunan, jodoh dan masa depan, bekerja dengan rajin, kebahagiaan, meraih impian, dan banyak hal lain. Banyak sekali pelajaran yang bisa kamu ambil dari buku ini.
Karakter keempat tokoh utama sangat beragam: Meg cantik dan riang, namun kadang terlalu menginginkan hal-hal yang mahal dan indah; Jo seorang kutubuku tomboi yang doyan menulis dan bermain peran; Beth tulus dan lemah lembut, namun minder dan cenderung rapuh; dan juga ada Amy, si bungsu yang berbakat seni, namun kadang manja dan tinggi hati.
Salah satu hal favorit saya tentang buku ini adalah tentang persahabatan keempat gadis March dengan Laurie (nama aslinya Theodore Laurence), yang adalah cucu Pak Tua Laurence yang tinggal di sebelah rumah keluarga March. Laurie seorang pemuda yang moody, gampang bosan dan lumayan bengal, namun sejak bersahabat dengan keempat gadis March, dia tidak lagi mudah merasa bosan. Kehadiran Laurie juga memberi warna tersendiri dalam cerita, apalagi yang memerankannya di film adalah Christian Bale… (Oops. Maaf, salah fokus) 😛
Lalu ada karakter Marmee yang sepertinya menjadi sumber segala kebijakan dalam buku ini. Sampai-sampai saya merasa karakter ini agak terlalu sempurna, sampai diungkapkan bahwa Marmee sendiri mengakui salah satu kelemahannya, dan bagaimana caranya untuk mengatasi kelemahan itu. Salah satu kutipan favorit saya yang berasal dari Marmee:
“Aku ingin putri-putriku menjadi wanita-wanita yang cantik, berhasil, dan baik; dikagumi, dicintai, dan dihormati. Aku ingin mereka mendapat masa muda yang ceria, kemudian menikah dengan baik-baik dan bijaksana, menjalani hidup yang berguna dan menyenangkan, dengan sesedikit mungkin kekhawatiran dan kesedihan yang merupakan cobaan untuk mereka, cobaan yang dinilai pantas oleh Tuhan. Dicintai dan dipilih oleh seorang pria yang layak adalah hal terbaik dan terindah yang bisa didapat seorang wanita. Dengan sepenuh hati aku berdoa dan berharap putri-putriku akan mendapat pengalaman luar biasa itu.” – hal. 159
She is the best mother character ever. You rock, Marmee!
Baiklah, saya mengakui bahwa saya jatuh cinta dengan (hampir) semua karakter dalam buku ini. Semuanya terasa begitu hidup dan nyata, seperti seorang teman lama yang menyambut saya dengan hangat dan akrab.
Terlepas dari sedikit rasa tidak puas saya akan endingnya, secara keseluruhan membaca Little Women sangat menyenangkan. Feel yang saya dapat saat membacanya mirip seperti saat membaca A Tree Grows in Brooklyn; kedua buku ini tidak memiliki cerita yang “wah” namun ternyata enak dinikmati dalam segala kesederhanaannya. Rasanya seperti membaca buku harian yang ditulis selama setahun (dari Natal ke Natal selanjutnya), namun dengan POV orang ketiga. Semoga saja nanti saat membaca Good Wives (sekuel Little Women), saya bisa merasa puas dengan endingnya. Tapi saya tidak berharap banyak sih, karena konon Tante Louisa bukan tipe penulis yang suka menyenangkan hati pembacanya. Ia lebih memilih membengkokkan plot daripada menulis seturut keinginan pembaca. (Yes, she is that badass.)
Kesimpulan: Bacalah. Buku. Ini.
Baca bareng BBI Januari 2015: Buku Secret Santa
28th review for The Classics Club Project | 1st review for Children’s Literature Reading Project | 1st review for Project Baca Buku Cetak | 1st review for New Authors Reading Challenge 2015 | 1st review for Lucky no. 15 Reading Challenge (Cover Lust)
Review in English:
Little Women tells us about the four March girls: Meg, Jo, Beth, and Amy. They lived modestly in Concord, Massachusetts with their beloved mother (“Marmee”) while their father was away in the war. This book is mainly about the March girls’ daily life, friendship, sisterhood, their struggle through poverty, and also about hope and love. It gets adventurous in some parts, and in many parts we witness the March girls learn life lessons: gratitude, forgiveness, marriage and future, hard work, happiness, and accomplishing dreams, among other many things. Yes, you could learn so much from this book.
Meet a parade of colorful characters: the beautiful and sometimes superficial Meg, the independent tomboy and bookworm Jo, the delicate pianist Beth, and the artistically talented but snobbish Amy. There is also Mrs. March or Marmee, who at first I thought too good to be true, until it was revealed that Marmee herself confessed about one of her own faults, along with her way to deal with it. Marmee is a picture of a perfect mother: loving, hardworking and full of wisdom, not to mention a wonderful storyteller. Last but not least there is Laurie, the boy next door who was eventually bound in friendship with the March girls. Laurie is described as the typical teenage boy: moody, gets bored easily, sometimes naughty; yet his character brought more color to the story. Okay, I admit that I fell in love with (almost) all characters in this story. They all feel so alive and real, like an old friend who greets me with such warmth and intimacy.
Regardless feeling a little unsatisfied with its ending, reading Little Women is overall a pleasing experience. Little Women and A Tree Grows in Brooklyn gave me a similar feeling when reading them; both of these books do not give us an intricate story, but they are enjoyable in their simplicity. It felt like reading a diary for a full year (from one Christmas to the next), only in third POV. I can’t wait to read Good Wives!
Final words: Read. This. Book. Just. Read. It.
Book details:
Little Women (Gadis-gadis March), by Louisa May Alcott
376 pages, published 2014 by Gramedia Pustaka Utama (first published 1868)
My rating: ♥ ♥ ♥ ♥
A Note to My Secret Santa:
Dear Santa yang mengaku bernama Louisa M.A.,
Terima kasih sudah memberikan buku ini. Terima kasih sudah dikangenin. Dan ternyata, memang membaca buku yang kamu hadiahkan ini terasa seperti bertemu kawan lama. Kangen. Sama seperti rasa kangen saya dalam menulis review. Well, here I am, Santa. 🙂
Nah, sekarang saya mau mencoba menebak identitasmu ya.
Santa bilang kalau kita pernah bertemu saat Pangeran nan bahagia merayakan ulang tahun pertamanya, saat itu aku membawa hadiah sebuah jaring emas untuk pangeran.
Kemudian aku pernah bercerita kepada Santa tentang kisahku ketika berada di dua kota.
Santa pernah bercerita kepadaku tentang seorang ayah berkaki panjang. Aku bilang cerita itu sangat menarik dan aku ingin mengabadikannya.
*(Riddle lengkap bisa dilihat di post ini)
Baiklah, berarti Santa dan saya sudah membaca beberapa buku yang sama: Pangeran Bahagia, A Golden Web, Kisah Dua Kota, dan Daddy Long-Legs. Wah, Santa tahu benar buku-buku yang saya suka ya :). Karena 3 dari 4 judul buku diatas buku klasik, saya tinggal ngubek-ngubek Index Review Baca Klasik yang saya kumpulkan dengan susah payah (baru kali ini saya merasakan kegunaannya secara langsung :D). Hey, ada satu clue lagi yaitu kertas yang digunakan Santa untuk riddle! Setelah mencocokkan satu clue dengan yang lainnya, hasil deduksi saya meruncing pada….
Pauline Destinugrainy alias Mbak Desty
(https://destybacabuku.wordpress.com/)
Bener, kan?Ada jejak saya di empat review buku yang saya sebutkan diatas di blog Mbak Desty. Dan itu, gambar bunga di kertas riddle sama dengan gambar bunga di header blogmu! 🙂
Sekali lagi, terima kasih yaaa. :*
Hohoo…udah ketemu Santanya ya… hiks, aku belum 😦
Ada kegunaannya juga baca buku klasik dan submit review ke Baca Klasik ya…dan jadi adminnya, wkwkwk (btw, aku udah lamaa gak submit, huaaa!)
LikeLike
punyaku edisi serambi, masih tertimbun #ups
LikeLike
Bunganya mbak desty kah mbak?
LikeLike
Aku dah baca tapi belum sempat mereview. Semoga benar tebakannya ya
LikeLike
Yay!!!
Awalnya aku sempat kuatir sama riddleku itu, takut ga ketebak kalo cuman judul2 buku saja (yang ternyata bisa ditebak). Makanya daku nambahin bunga-bunga itu. Bunga-bungaku terkenal juga ya….
Salam dari kutub utara… (yang sekarang sudah pindah ke daerah tropis lagi karena wordpress sudah menghilangkan efek salju di blogku)
LikeLike
Santanya janjiankah dengan santaku? Buku yang jadi hadiahnya sama ^^
Saya suka karakter Jo yang blak-blakkan..
LikeLike
Rencana mau baca (ulang) tahun ini, dulu sempat baca abridgednya
LikeLike
jadi inget gambar belakang riddle-ku yg dari Santa yang sama 🙂
LikeLike
Reblogged this on Baca Klasik.
LikeLike
Saya malah merasa buku ini terlalu maksa dalam menyisipkan pesan-pesannya, haha.
LikeLike
aku penasaran dengan buku ini gara-gara mbak Truly yang bisa dibilang maniak sama buku ini, dia ngumpulin berbagai macam edisi Little Women dari berbagai bahasa dan cover, bahkan mencapai ribuan, sebagus apa sih? aku akhir-akhir ini sering baca classic, semoga saja nanti berjodoh sama buku ini 🙂
LikeLike
seorang sahabat ngasih Good Wives, yang ternyata ada sambungannya Little Women, jadi berasa harus baca Little Women sebelum baca Good Wives… tapi masalahnya bwat aku baca buku klasik itu berasa udah tau ceritanya, bukan karena emang udah baca… tapi cerita klasik sering dikutip, diceritakan sebagian entah dalam bentuk adaptasi film, drama atau cuma kutipan dalam cerita lainnya… jadi setengah2 tau spoiler ceritanya… XD
perlu semangat khusus untuk mulai baca buku genre klasik… mungkin dengan baca review2 buku klasik bisa nularin keinginan untuk mulai baca 😀
LikeLike
Akkkk… pengen punya yang cover ini juga. Tapi kalau beli lagi serasa mubazir. Cover yang ini lucu sekali. Waktu baca ini jadi ingat diri sendiri, saya juga empat orang bersaudara, dan semuanya perempuan, makanya saya suruh adik-adik saya baca buku ini juga. Saya suka Meg.
Oh iya, di good wives (yang sekarang covernya juga unyu) saya jadi tambah suka Meg. hihii
LikeLike
Saya baca Little Women terbitan Trans Atlantic Press, dan memang sangat menyukai kehidupan mereka yang sederhana. Walau sayangnya masih ada lanjutan lagi dari series perjalanan ke-empat saudari ini, tapi saya tetap menyukainya. Sangat sukaaa. Mungkin memang cerita klasik lebih sering terasa ‘nyata’ ketimbang fiksi jaman sekarang. Itulah kenapa saya juga senang membaca buku klasik.
LikeLike
Aku juga pernah baca buku ini yang versi inggrisnya yang aku pinjem di perpustakaan sekolah . Walaupun ceritanya pendek , tapi punya banyak makna bagi hidup kita . Di cerita ini , kita belajar bahwa kebahagiaan dapat kita dapatkan walaupun kita tidak kaya , walaupun kita hidup pas – pasan , asalkan kita memiliki ekluarga dan semangat yang kuat .
LikeLike
Aku baca Little Women yang terjemahan Serambi. Sebenernya, ceritanya cukup menarik. Kayaknya asik banget bayangin karakter Jo yang energik. Saudara-saudaranya juga punya karakter yang beragam. Tapi sepertinya aku kurang enjoy dengan terjemahannya jadi agak bosan di awal-awal. Baca buku ini pun jadinya lama. Belum pernah coba baca terjemahan lain ataupun versi englishnya.
LikeLike
Waduh, kesannya kayak A Tree Grows in Brooklyn? Buku itu favorit saya dan kalau benar kesannya demikian, maka saya memang harus membatja buku ini!
Oke, oke, yang di atas itu kesannya basa-basi doang :)) Buku ini kan memang sudah lama nongkrong di wishlist saya dan … belum terkabul sampai sekarang karena saya memang agak rewel masalah cover untuk buku klasik. Yang terbitan Serambi dan Qanita pakai gambar orang sudah pasti saya skip. Punya Bukune, agak terlalu tipis jumlah halamannya, saya takut itu fontnya kuecil, jadi batal beli. Terus muntjullah versi GPU dengan harganya yang … cukup bikin dompet terkaget-kaget, tapi covernya juara!
Doakan saya segera bisa mengadopsi buku ini ya, kak :D/
LikeLike
Saya juga sudah baca Little Women, tapi belum berkesempatan baca terusannya atau pun karya2 Louisa May Alcott yg lain. Membaca buku ini berasa sekali kehangatan keluarga. Saya suka tuh sama karakternya Jo yg tomboy. Dan Marmee emang bijaksana sekali. Kerasa banget kalau baca klasik tuh style-nya beda sama buku2 jaman sekarang. Tapi meski penyampaiannya sederhana, kesannya melekat sepanjang masa ya… That’s why I love classics :).
Sayangnya belum nonton filmnya, hiks… Jadi pengen nonton filmnya deh…
LikeLike