Perjalanan Menemukan Sastra Indonesia dalam Film dan TV

Saya ingin mengakui dua hal. Yang pertama, saya telah mengabaikan blog ini selama beberapa bulan (I’m so sorry! 😦 ). Salah satu alasannya karena saya berkonsentrasi mengejar impian melanjutkan kuliah di luar negeri dengan mendaftar beasiswa LPDP. Dan ternyata saya gagal, saya belum diperbolehkan oleh Tuhan untuk menggapai impian yang satu ini. Mungkinkah saya gagal karena saya tidak bisa menyebutkan perbedaan antara akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen yang ditanyakan salah satu pewawancara? Bagi teman-teman yang berasal dari background akuntansi hal ini mungkin kedengaran sangat konyol, apa mungkin bekerja selama kurang lebih 6 tahun tanpa menyentuh textbooks sama sekali membuat saya melempem ketika disodori pertanyaan macam ini. Atau jangan-jangan saya salah jurusan? 😐

Yah, bagaimanapun, fase tersebut sudah berlalu, dan saya tidak bisa bilang saya menyesal sudah mencoba walaupun akhirnya gagal. Well, if you never try, you’ll never know, right? Ada satu tahap seleksi yang dilakukan LPDP yang bernama Leaderless Group Discussion. Pada tahap ini pelamar beasiswa dikelompokkan dengan 5-6 orang pelamar lain dan diberi artikel untuk didiskusikan bersama. Saya dan teman-teman sekelompok mendapat artikel dengan tema Budaya Asing di Indonesia. Kami diperhadapkan pada masalah budaya asing yang merajai musik, film, TV dan buku/komik di Indonesia (buku/sastra tidak disebut dalam artikel,tapi saya sempat menyinggungnya sedikit dalam diskusi) dan bagaimana caranya supaya budaya Indonesia bisa menjadi raja di negeri sendiri.

Nah, hal inilah yang melatarbelakangi pengakuan saya yang kedua. Saya sendiri sangat kurang mencintai produk-produk budaya dalam negeri (that is: buku & komik, musik, film, dan tayangan TV Indonesia). Saya bisa saja menggunakan alasan “selera kan tidak bisa dipaksa” tapi setelah melalui tahap LGD bersama teman-teman pelamar beasiswa LPDP, saya menyadari bahwa rasa cinta itu harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana mungkin mengajak orang lain mencintai budaya negeri kalau diri sendiri tidak melakukannya lebih dahulu?

Pertama, buku. Tanggal 17 Mei yang lalu kita merayakan Hari Buku Nasional, di mana orang berlomba-lomba memamerkan koleksi buku lokal yang mereka miliki. Saya termasuk di antara mereka, tanpa malu mengepos koleksi buku lokal saya ke Facebook, Path, dan Instagram walaupun jumlahnya cuma SEBELAS biji. Saya diam-diam membuat resolusi pribadi untuk mulai giat membaca buku lokal walaupun mungkin terbatas dalam genre tertentu (beberapa teman pasti tahu saya sangat pemilih soal genre buku) dan dengan progress yang sangat lambat (orang Jawa bilang alon-alon asal kelakon). Ada dua buku yang ingin saya habiskan dalam tahun ini, yaitu Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Amba karya Laksmi Pamuntjak. Saya bertekad bahwa dua buku tersebut harus pindah dari rak “timbunan” ke rak “sudah dibaca” tahun ini juga! Wish me luck!

books to movies
Source: https://princeoftheuniverse.files.wordpress.com/2013/06/books-vs-movies.jpg

Kedua, film. Kamu akan tertawa kalau tahu film Indonesia apa yang terakhir saya tonton di bioskop. Film ini dibintangi oleh Shandy Aulia dan Samuel Rizal dan bersetting di tempat berjuluk City of Light. Got it? 😀 Namun, melihat bahwa belakangan ini film biopic mulai menjamur, maka rasanya ini start spot yang tepat bagi saya untuk memulai (lagi) nonton film-film buatan anak bangsa. Saya juga tertarik untuk nonton film yang diadaptasi dari buku, tapi tentunya setelah saya membaca bukunya dulu, hehehe. Untuk permulaan, saya mencatat Sang Penari (adaptasi Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (adaptasi karya Hamka) untuk saya tonton. Mungkin kamu bisa memberi saya rekomendasi film yang lain?

Ketiga, TV. Inilah yang paling susah bagi saya. Saya jarang sekali nonton TV. Mohon maaf, tapi bagi saya kebanyakan tayangan TV (baca: sinetron) Indonesia itu sampah. Dalam LGD, saya sempat melontarkan pendapat bahwa produsen film dan serial TV di Indonesia juga harus memperbaiki kualitas karya-karya seni mereka sehingga makin banyak orang (terutama anak muda) lebih memilih nonton film dan serial TV yang asli Indonesia, ketimbang, katakanlah, produk Hollywood, Bollywood, dan Korea. Lalu terpikirkan oleh saya, mengapa stasiun TV di Indonesia tidak mengikuti langkah BBC dan beberapa stasiun TV mancanegara lainnya, yang terus “menghidupkan kembali” karya sastra melalui adaptasi serial TV? Saya secara khusus menyebutkan BBC karena stasiun tv ini yang menurut saya paling produktif dalam menghasilkan adaptasi dari karya sastra (klasik), bahkan yang tidak terlalu populer seperti Little Dorrit karya Charles Dickens dan Cranford karya Elizabeth Gaskell. Negara Inggris memberi tempat yang sangat spesial untuk karya-karya sastra yang berasal dari putra-putri negaranya.

Ini beberapa “sinetron” produksi BBC yang diangkat dari karya sastra klasik selama 5 tahun terakhir:

Sumber: http://ladyandtherose.com/period-drama-tv-series/

Dan berikut ini beberapa film adaptasi karya sastra klasik yang rilis tahun 2015:

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah karya sastra klasik Indonesia masih dibaca sekarang ini? Atau jangan-jangan malah sudah dilupakan? Saya masih nol dalam hal membaca karya sastra klasik Indonesia, namun saya ingin memulai dan saya ingin supaya karya-karya sastra lokal diingat dan dicintai oleh Indonesia. Mungkinkah dengan “memberi nyawa” pada karya sastra klasik Indonesia melalui adaptasi TV/film, karya sastra tersebut bisa kembali populer? Para insan film dan TV di Indonesia, apakah suatu saat nanti kalian akan menjawab pertanyaan ini?

Monggo berkomentar, terutama bagi teman-teman yang sudah membaca lebih banyak karya sastra klasik Indonesia daripada saya 😉

19 thoughts on “Perjalanan Menemukan Sastra Indonesia dalam Film dan TV

  1. Setuju, kalau memang ingin TV Indonesia masih ditonton, jadikan dulu dia layak tonton. Entah di mana yg salah, bahan yg bermutu itu sebenarnya banyak, penulis skenario jg aku yakin ga sebodoh sinetron yg sedang tayang, tapi kenapa yg gencar ditayangkan yg seperti itu? Nyatanya film yg diangkat dr novel pun bisa sukses, mgkn harus ada yg berani memulai dulu utk sinetronnya. Satu lagi mungkin masalah rights, setahuku, belum ada sastra klasik Indonesia yg public domain, bebas diakses seperti sastra klasik dunia. Jadi utk pengembangannya ga sebebas di luar negeri.

    Like

    1. Itulah, udah jelas-jelas membodohkan tapi tetap dibikin, dan tetap aja ada yang nonton *sigh* apa mungkin mereka yang menikmati tayangan2 ‘pembodohan’ ini belum tahu kalau ada banyak tayangan lain yang lebih bermutu dan mendidik, atau simply karena akses kesana sulit/gak ada. Belum kepikiran untuk masalah rights, bisa jadi itu salah satu faktor yang menghambat ya. Thanks buat komennya, maafkan reply yg super super late ini 😀

      Like

  2. sejak memulai perjuangan utk bisa kuliah di luar, aq pun berpikir hal yang sama mel. Aq pikir kalau aq sampai diluar negeri dan mereka bertanya ttg sastra Indonesia, aku tau apa? Makanya aku pun ingin mulai baca bbrapa sastra Indonesia. Utk film Indonesia, beberapa yg terakhir seperti cahaya dari timur beta maluku tuh bagus menurutku, kualitasnya keren. Filosofi kopi juga digarap dengan bagus. Nah kalo ttg serial (bc : sinetron) itu sangat gak mendidik menurutku jadi tidak berguna utk ditonton. Aku bahkan pengen banget wawancara tu org tv yg menggagas diputarnya sinetron, aku pengen nanya kenapa siaran tdk mendidik itu terus dipertahankan ckckckck

    Like

    1. Aku berpikiran yang sama sy, paling enggak kalau kita tahu sedikit tentang sastra Indonesia kita bisa menjelaskan ke yang tanya. Dan jujur, agak merasa bersalah sih karena lumayan tahu tentang sastra klasik barat tapi sastra negeri sendiri nul putul.Makasih buat komentarnya & rekomendasi filmnya ya!

      Like

  3. Sedikit banyak aku setuju ma artikelmu ini. Untuk karya sastra Indonesia aku sendiri masih memilih baca yg kontemporer krn emang doyannya itu :p tp moga aja kelak akan lbh tertarik dgn karya klasik macam Layar Terkembang
    gitu. Nah, untuk masalah kemajuan budaya Indonesia dlm ranah apa pun ga akan maju klo masyarakatnya ga minat, dan selama mereka masih nganggap “buatan/orang luar” lebih keren daripada kita orang/buatan lokal. Sedikit banyak ini masalah mentality juga sih, bukan cuma soal kualitas. IMO.

    Like

    1. Nah mungkin dengan adanya orang-orang yang berani memulai produksi film/sinetron adaptasi sastra lokal, orang2 Indonesia bisa lebih tertarik dengan karya sastra negeri sendiri. Tapi kayaknya untuk mencapai ini sulit dan masih lamaaaa… 😀 Btw thanks for commenting!

      Like

  4. Aku skeptis sama sastra Indonesia yang diangkat jadi film. wakakakakakak. Rasa-rasanya kebanyakan pemain film Indonesia masih kebawa-bawa sinetron jaman sekarang. Jadinya kalo film dari sastra klasik agak ogah nonton (ya yang dari buku jaman sekarang juga ogah sih). Tapi sebenernya bagus orang2 jadi membaca bukunya yang biasanya dicetak ulang (dengan kover film yang menurutku crappy biasanya) yah kecuali kalo nanti aktornya Donny Alamsyah aku nonton deh 😀

    Like

    1. Iya bener sih cover movie tie-in biasanya crappy 😐 ah komenmu bias, film apapun ogah kamu tonton #keplakfatma
      Tapi bentar, klo yg main Tom Hiddleston atau Matthew Goode kamu mau nonton kan? Kan? :p

      Like

  5. Sama kayak fatma. Aku pesimis sama sastea indo yg diangkat ke film. Dan aku udah nonton hampir semua film indo yg diangkat dr buku lho, baik novel sastra maupun kontemporer.

    Utk sinetron, pernah bahas ini sama teman2 yg kerja di stasiun tv. Jadi menurut survey, yg nonton tv sekarang tuh golongan ekonomi c dan d. Makanya tayangan televisi tuh dicocokkan dengan pasarnya. Di mana kelas ekonomi a dan b? Udah pindah ke tv kabel dan youtube.

    Apa stasiun tv senang dgn kenyataan ini? Gak.
    soalnya sejak tayangan mereka dialihkan ke segmen c dan d, sponsor2 malas pasang iklan. Buat apa pasang iklan mahal2 kalo toh penontonnya kalangan ekonomi yg daya belinya kecil.

    kenapa tv gak bikin tayangan utk segmen kelas a dan b? Udah kok. ada beberapa program yg mereka coba bikin. Tapi ratingnya drop dan mereka rugi gede. Penonton kelas a dan b udah berpaling terlalu jauh dan terlalu lama, bahkan mereka gak pernah sekadar ikutin perkembangan stasiun tv.
    bukannya gak mungkin sih menarik kembali penonton kelas a dan b, tapi stasiun tv perlu rebranding utk itu. Dan karenanya butuh modal dan dana yg gede. Sekarang siapa yg mau danain?

    Jadi utk bertahan hidup, stasiun tv pilih bikin program2 gak mutu. Mungkin untungnya gak segede dulu, tapi seenggaknya ada. Selama ada penonton, akan selalu ada pengiklan walo mungkin bukan yg gede2 lagi.

    Lalu apa yg bisa kita lakukan?
    saran temanku sih : kalo ada program2 yg rada bermutu di tv, mohon didukung dengan cara ditonton. Biar ratingnya bisa naik. Ada kok beberapa stasiun tv macam net ato kompas yg masih berusaha menyiarkan (beberapa) acara bermutu.

    Karena yaaa selama kita cuma bisa nuntut tv siarkan program bermutu tapi kitanya gak mendukung, sama aja boong. Keadaan gak bakal berubah. Kondisi dunia pertelevisian kita yg skr ini salah 2 pihak kok. Just my 2cents anyway

    Like

    1. Hai mbak Dew, sori baru balas. Makasih ya buat insight-nya, aku jadi sedikit memahami masalah ini kalau dipandang dari sisi lain. Jujur aku sendiri selama ini malas nonton tv karena lebih banyak program yang crappy daripada yang bermutu. Semoga pelan2 pertelevisian Indonesia bisa bergerak ke arah yang lebih baik..

      Like

  6. 1. Buku.

    Aku lumayan banyak baca buku Indonesia. Tapi, belakangan ini jarang karena memang sedikit sekali yang layak baca. Lagian, ceritanya berkutat pada hal yang itu-itu saja. Terlalu bawa perasaan daripada bawa isu sosial atau apalah yang bisa bikin pembacanya jadi pintar.

    2. Film.
    Jauh kualitas film indo dengan film luar. Tak bisa diperbandingkan karena kelasnya beda. Salah siapa? Ya pertama, pasar penonton kita beda dengan orang luar. Hampir sebagian besar masyarakat indo taraf hidupnya menengah ke bawah jadinya nonton film gak bagus-bagus amat ga buat mereka sudah keren. Loh, masyarakat yang kelas atas ke mana? Ya nonton bioskop bukan hiburan yang bakalan mereka pilih lah. Entah mereka sibuk berbisnis, shopping di mall, atau traveling ke kuar negeri

    3. TV
    Sorry to say, tapi kita semua tahu kualitas tontonan di negara kita ini sampah banget. Semuanya menyajikan hal yang sama. Sekalinya ada yang beda, njiplak acara milik negara sebelah. Gak usah jauh-jauh bahas kualitas, sebab dengan disodori pemeran ganteng cantik saja, masyarakat kita sudah senang, dan tentu saja produser sutradara gak perlu kerja lebih keras lagi.

    Hahahahahahaha. Random.

    Like

    1. Hahahah sinis banget ini komentarnya, tapi ya bener sih itu yang terjadi. Khusus buat buku aku mau bikin resolusi untuk baca lebih banyak sastra Indonesia mulai tahun depan. Tapi udah 2 tahun ikutan berbagai reading challenge ya gagal total. Terus aku kudu piye *galau galau sendiri*

      Thanks udah komen sel, sori replynya lamaaa banget haha

      Like

  7. ada masanya ketika sinetron indonesia bukan tayangan sampah… setidaknya bukan bagi gw.
    tahun 80an masanya tvri, dan 90an masa awal tv swasta, sinetron itu masih ada yg bagus, sebut aja Rumah Masa Depan, Losmen, Jendela Rumah Kita di TVRI, Halimun, Cinta, Buku Hatian, Si Doel Anak Sekolahan, dan banyak lagi.. Dan sinetron2 itu walaupun mungkin bukan bermutu tinggi, tapi bukan abal2 macam sekarang yg cuma ngandalin pelototan, makian dan hal2 ga mutu lainnya…
    Pemikiran gw, semua kebobrokan tv dimulai dengan semakin banyaknya tv swasta yang berlomba menyajikan tayangan lokal, rumah2 produksi dengan sembrono membuat tayangan yg ga mementingkan mutu, tapi yang penting ada dan bisa memenuhi jam tayang yang banyak di seluruh tv swasta 😦

    Like

    1. Iya sinetron jaman dulu masih enak ditonton 😦
      paling sebal dengan pelototan-pelototan gak jelas itu dan stereotipe orang jahat pasti mukanya jahat bin judes, sebaliknya (maaf) yang pake hijab pasti alim orangnya, realitasnya tidak seperti itu. Apalagi sinetron remaja malah ngajarin yang jelek2 >.<

      Like

  8. Terkait film Indonesia…ini menarik sih Mel. Kemaren pas aku mau nonton Scorch Trials, kan diputer tuh trailer film – film. Film Indonesia? Wow, tipikal semua. Kalau ga cerita tentang orang teraniaya (terus mati karena kanker. Seriously? Romance barat pun ga se-cliche ini dan yang mati karena kanker setauku cuma NicSparks doang, hahaha), cinta segitiga dengan latar belakang negara Eropa, atau komedi yang sama sekali ga cerdas. Semua trailer yang bikin aku rolling my eyes dan malah ketawa pas adegan sedih, because…yah orang Indonesia ini gampang ditebak seleranya.

    Yang akhirnya juga terlihat di buku – buku yang ada dan beredar di tokbuk. Lihat aja bagian bestseller. Pasti sama aja ma film yang juga diputer di bioskop.

    Sebenarnya bisa ya sastra Indonesia dijadikan TV series, sehingga ngga sinetron tidak bermutu terus yang ditayangkan. Tapi gimana ya Mel…orang TV series impor yang ditayangkan juga yang aroma sinet XD. Bingung ya jadi orang Indonesia…

    Like

    1. Ngoahahahaha emang bingung dan serba repot yah Ren. Tapi herannya TV series impor biarpun beraroma sinet tapi tetap lebih bagus daripada sinet Indo… apa penilaian ini bias karena pada dasarnya kita memang lebih suka yang impor2? Hahahaha malah makin bingung yak XD

      Like

  9. Sepakat sama kak mute. Utk generasi 90an awal kyk kami masih dapat kok sinetron bermutu.
    jangan lupa, di sejarah tv indo pernah ada sinetron sekeren Dunia Tanpa Koma, yang sayangnya harus dihentikan penayangannya karena rating rendah. Padahal kurang bagus apa tuh sinetron? 😦

    Like

  10. Untuk buku, aku masih berusaha untuk mengumpulkan novel-novel lokal (dan dibaca, suatu hari nanti…). Sastra, terutama. Dan kontemporer roman, karena aku sebenarnya kurang sreg sama novel luar yang bergenre sama. Terus sama kata mba Bzee tadi, susah nemuin sastra lama yang gak diterbitkan lagi. Begitu ada yang cetul, eh harganya mahal! (Iya curhat, soalnya kepengen Arok Dedes banget banget tapi mahal.)

    Film, aku memang telat karena baru tahu film-film lokal yang bagus, karena kakakku juga baru sekarang bergelut di bidang itu, dan aku jadi ikut nonton DVD yang dibawa dia. Memang, masih banyak film lokal yang bikin kita memutar bola mata. Begitu pun dengan buku, begitu pun dengan sinetron. Untuk yang terakhir, kayaknya gak ada habis-habisnya kalo dibahas.

    Kemarin juga sempat terlibat di satu forum, tentang kenapa orang-orang Indonesia bisanya ngikutin serial dari luar? Kayak di salah satu TV swasta itu, bikin sinetron mirip CSI. Lalu ada yang berkomentar, “Lebih baik ngikutinnya yang bagus-bagus, daripada ngikutinnya yang emang jelek–kayak sinetron-sinetron lain. Seenggaknya yang ini beda.”

    Gak banyak yang setuju, tapi seperti kata Kak Ratih, ini mungkin masalah mental orang Indonesia yang masih berpikir kalo barang luar itu selalu lebih keren dibanding buatan lokal. Karena rumput tetangga selalu lebih hijau.

    BTW, kak Mel, tetap semangat mencari beasiswa ya. Pasti ada jalan untuk hal baik. 🙂

    Like

    1. Sepakat soal buku, Aul. Sementara ini aku juga masih nimbun dulu, enggak tahu kapan mau dibaca hahahaa :p Amin untuk doanya 🙂
      Makasih komennya ya, sori replynya telaaat pake bangeet 😀

      Like

Leave a reply to melmarian Cancel reply