Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Jurnal Ruang pada tanggal 12 Februari 2018. https://jurnalruang.com/read/1518405094-ulasan-buku-pedang-bermata-dua

Bagaimana cara menilai sebuah buku layak baca atau tidak? Alternatif pertama adalah membaca ulasannya. Menurut Berguru Pada Pesohor: Panduan Wajib Menulis Resensi Buku karya Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan, ulasan atau resensi merupakan pengadilan awal bagi sebuah buku. Di sini isi sebuah buku dilihat kembali, ditimbang, dan dinilai. Proses ini kemudian menghasilkan komentar-komentar dari pengulas yang bisa berbentuk pujian atau kritik.[1]
Ulasan yang memuat pujian (atau ulasan positif) pada umumnya mudah diterima. Namun ulasan negatif yang memuat kritik, apalagi jika cenderung tajam dan pedas, bisa menuai beragam reaksi. Baik dari penulis buku yang diulas, penerbit, maupun sesama pembaca.
Ada masanya ketika ulasan buku hanya tersedia di media cetak. Ulasan-ulasan yang dimuat di media cetak, apalagi yang ternama, biasanya melalui tahapan seleksi yang ketat. Sehingga jika ulasan seseorang diterbitkan di koran atau majalah, hal ini menjadi kebanggaan tersendiri dan si peresensi pun mendapatkan kompensasi atas tulisan yang dimuat tersebut.
Seiring pesatnya teknologi informasi, ulasan buku bukan lagi sesuatu yang terbatas dan eksklusif. Ulasan buku yang pada umumnya serius, kaku, dan kadang bergantung pada selera redaktur media cetak pun bergerak lebih leluasa dan egaliter.
Generasi baru pengulas ini adalah para narablog, yaitu mereka yang membaca buku dan menuliskannya kembali dengan semangat sangat personal tanpa takut tulisannya ditampik.[1] Jika tidak berminat membuat blog, pembaca bisa menuliskan ulasan di situs seperti Goodreads. Toko-toko buku daring pun menyematkan kolom ulasan di laman produk yang dijual, sehingga calon pembeli bisa langsung tahu pendapat orang lain terhadap buku tersebut.
Artinya, kini batas antara penulis dan pembaca menjadi kian tipis bahkan hilang, karena setiap pembaca bisa menuliskan ulasan buku dan berperan sebagai kritikus. Sebuah “ulasan” pun akhirnya tidak memiliki bentuk yang baku lagi sebagaimana di media cetak, karena ulasan di media daring cenderung dituliskan dengan bebas, bahkan “seenak jidat” yang menuliskannya. Ulasan seperti itulah yang berpotensi menimbulkan konflik, apalagi jika ulasannya memuat kritik, mulai dari yang disampaikan secara halus sampai dengan yang bernada cercaan dan caci maki.
Bagi penulis, ulasan atas karyanya adalah sebentuk apresiasi tersendiri. Melalui ulasan, seorang penulis dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari karyanya dan membantunya untuk mengembangkan karya-karya selanjutnya. Bagi penulis baru, ulasan juga berperan sebagai sarana perkenalan diri kepada publik.[1]
Penulis pasti ingin kerja kerasnya dihargai. Namun bagi beberapa penulis, kritik merupakan “serangan”, sehingga ia merasa perlu melakukan pembelaan terhadap karyanya tersebut. Yang biasa terjadi adalah penulis menunjukkan superioritasnya atas pembaca: membalas ulasan dengan komentar seperti “kamu nggak akan mengerti dunia yang saya ciptakan” atau “nulis dulu gih baru kasih kritik”.
Sebagai contoh, seorang penulis pemula merespons sebuah ulasan atas bukunya kurang lebih seperti berikut: “Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengulas buku ini. Namun ulasan anda bernada intimidasi dan bahasanya sungguh tidak sopan. Saya tidak setuju dengan cara penyampaian anda yang seakan memprovokasi orang lain untuk tidak membaca buku ini.”
Ulasan yang dimaksud memang menunjukkan ketidaksukaan terhadap buku tersebut, tapi tiada ditemukan kalimat bernada “intimidasi”, “bahasa yang sungguh tidak sopan”, dan “memprovokasi”.
Respons terhadap ulasan yang semacam itu tidak melulu datang dari penulis pemula, bahkan penulis internasional sekelas Anne Rice pun pernah beberapa kali berkonfrontasi dengan pembaca yang memberikan ulasan negatif terhadap buku-buku karyanya.[2]
Dari sisi pembaca yang menuliskan ulasan, pastilah mereka menginginkan kebebasan untuk menulis ulasan secara jujur dan apa adanya. Emosi yang dihasilkan pasca membaca buku pasti akan tertuang dalam ulasan—yang bisa mengakibatkan ulasan yang tidak berimbang, misalnya hanya membahas keburukan dari buku tersebut. Ulasan yang sudah ditulis dengan santun dan berimbang pun bisa ditanggapi dengan emosional oleh penulis buku (atau pembaca lainnya).
Bila demikian, ulasan bagai pedang bermata dua, terutama bagi penulis buku. Ulasan yang semestinya alat pembaca untuk memberi umpan balik kepada penulis, berubah semacam arena pertarungan di mana penulis berusaha mematahkan argumen pengulas buku, dan kadang juga ditimpali oleh pembaca lain yang berada di “kubu” penulis.
“From my close observation of writers … they fall into two groups: 1) those who bleed copiously and visibly at any bad review, and 2) those who bleed copiously and secretly at any bad review.”
Kata-kata penulis fiksi ilmiah itu seperti memberikan penegasan bahwa ada dua kubu dalam pemahaman penulis. Ulasan negatif akan selalu ada, karena tiada satu pun buku di dunia ini yang mutlak seluruhnya disukai pembaca.
Laman Guidelines for Authors di situs Goodreads dengan jelas menyarankan penulis agar tidak merespons ulasan negatif, karena hanya akan menimbulkan citra buruk bagi penulis sendiri.[3] Sebuah artikel di BookRiot beropini bahwa penulis tak seharusnya membalas ulasan di Goodreads, baik ulasan positif dan apalagi yang negatif.[4]
Demikian juga bagi pembaca yang merasa perlu ikut “membela” buku dan/atau penulis favorit yang diulas secara negatif. Jika penulis perlu berbesar hati menerima bahwa tidak mungkin bukunya akan disukai oleh semua orang, maka pembaca juga tidak perlu panas ketika buku dan/atau penulis favoritnya dikritik dengan pedas.
Melihat kembali pada kutipan Asimov tadi, pembaca yang baik pasti menyadari bahwa ulasan negatif, bagaimanapun bentuknya, pasti menyakitkan bagi penulis. Sehingga, mungkin, yang bisa kita lakukan adalah sebisa mungkin menulis ulasan secara berimbang, dan menghindari argumen yang asal-asalan dan ad hominem. Rasanya saya tak perlu mengingatkan untuk tidak memperlakukan buku secara ekstrem seperti yang dilakukan Kayleigh Herbertson kepada Pandora karya Anne Rice.[2]
Penulis bukan siapa-siapa tanpa pembaca. Pembaca pun membutuhkan “asupan gizi” berupa buku-buku yang dihasilkan penulis. Sementara ulasan buku dibutuhkan oleh banyak calon pembaca di luar sana. Kritik dalam ulasan buku bukan hanya wajar tapi juga bermanfaat. Ulasan buku tidak perlu menjadi pedang bermata dua, asalkan pihak pemberi dan penerima bisa berlaku bijak dalam menyampaikan dan menanggapinya. (*)
Referensi:
[1] Sasa, Diana AV dan Muhidin M Dahlan. Berguru Pada Pesohor: Panduan Wajib Menulis Resensi Buku. Surabaya: dbuku.
[2] Polo, Susana. 2013. “Anne Rice Sics Her Fandom on Unaffiliated Lone Blogger for One Poor Review” dalam The Mary Sue. 20 April 2013. Diakses dari https://www.themarysue.com/anne-rice-poor-review/
[3] “Guidelines for Authors” dalam Goodreads. Diakses dari https://www.goodreads.com/author/guidelines
[4] Gray, Brenna Clarke. 2015. “Dear Authors: Don’t Respond to Goodreads Reviews” dalam Book Riot. 6 Oktober 2015. Diakses dari https://bookriot.com/2015/06/10/dear-authors-dont-respond-goodreads-reviews/
Penulis
Melisa Mariani. Penikmat fiksi klasik dan fiksi sejarah yang sedang merambah buku-buku nonfiksi, dan kolektor Jane Eyre.