Scones and Sensibility – Lindsay Eland

Saya ingin menampar Polly Madassa!

Yap, Polly Madassa, seandainya ia benar-benar nyata, pasti adalah gadis dua belas tahun paling menyebalkan di muka bumi. Dia kira dia sudah mengetahui semuanya tentang cinta dengan membaca Pride and Prejudice serta Anne of Green Gables berulang kali. Ia kecanduan segala sesuatu yang berbau romantis, setiap kata yang ia ucapkan (atau pikirkan) selalu berbunga-bunga dengan kata-kata seperti “indah”, “cantik”, “molek”, “anggun”, dan sebagainya.

Sebagai gadis muda yang salah abad, Polly lebih suka mengenakan gaun daripada t-shirt dan jeans, senang menulis dengan pencahayaan lilin menggunakan pena bulu daripada bolpoin, dan lebih memilih mesin tik daripada komputer.

Polly, yang bekerja membantu mengantarkan kue-kue selama musim panas untuk toko roti antik orangtuanya, merasa bahwa sudah panggilan hidupnya untuk membantu kehidupan percintaan orang-orang terdekatnya. Ia jengah melihat kakaknya, Clementine, yang berpacaran dengan cowok bernama Clint, yang menurutnya, kasar dan sama sekali tidak gentleman. Ia sedih melihat sahabat baiknya, Fran Fisk, dan ayahnya, yang telah hidup selama tiga tahun tanpa kehadiran sosok seorang ibu dan istri. Juga ada Mr. Nightquist, seorang kakek dari cucu lelaki yang nakal, yang telah lama ditinggal mati istrinya.

Maka Polly pun mulai menyusun rencana dan mencarikan “kandidat-kandidat” yang cocok bagi Clementine, Mr. Fisk, serta Mr. Nightquist. Yang masuk dalam kriterianya adalah orang-orang yang berpenampilan menawan dan “berbudaya”, kurang lebih seperti Elizabeth Bennet dan Mr. Darcy, tokoh-tokoh dalam novel yang telah berulang kali dibacanya. Polly menganggap bahwa segala rencananya akan berjalan lancar, dan semua orang yang dijodohkannya akan “mereguk kebahagiaan cinta yang teramat manis”. Polly sama sekali tak sadar bahwa semua yang dilakukannya bisa mengarah kepada bencana…


Sayang sekali, saya tidak bisa bilang bahwa saya menyukai buku ini. Saya sudah membaca Pride and Prejudice yang menjadi “kitab suci” bagi Polly dan saya tidak menyukainya. Bagi saya karakter Elizabeth Bennet terlalu dangkal karena ia menilai seseorang berdasarkan penampilan luarnya dan bagaimana ia membawa dirinya. Hey, orang-orang yang rupawan tak selalu jujur dan baik hati. Dan sebagian orang paling baik di dunia tidak tahu cara membawa diri dengan ramah dan ceria di tengah-tengah orang banyak. Keramahan dan keceriaan bisa saja palsu. Polly, menurut saya, sama dangkalnya dengan Elizabeth. Karena ia dengan terburu-buru menilai seseorang sebelum benar-benar mengenal orang itu. Dan ia juga tidak mengerti bahwa sesuatu yang romantis itu relatif, tergantung pada tiap-tiap orang. Sebagian besar juga karena ia mengira ia tahu yang terbaik bagi orang-orang tercintanya.

Nilai moral dari cerita ini adalah, lebih baik tidak usah ikut campur dalam kehidupan cinta orang lain. Anda juga pasti tidak mau kalau ada orang yang melakukan itu kepada anda. Satu bintang saya berikan untuk gaya penulisan Lindsay Eland yang berhasil memadukan gaya bahasa buku-buku klasik dengan setting masa kini, dan sukses membuat saya sebal (dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh Mbak Uci) dan satu bintang lagi untuk nilai moral yang diberikan buku ini.


Detail buku:

“Scones and Sensibility”, oleh Lindsay Eland
308 halaman, diterbitkan Maret 2011 oleh Penerbit Atria
My rating : ♥ ♥

15 thoughts on “Scones and Sensibility – Lindsay Eland

  1. huehehehe..serius banget mel bacanya.. 😀 sebagai bacaan ringan,aku kasih nilai 3,5 bintang buat Polly. harus diakui ide penulisnya orisinil sih..dan meski memang menyebalkan,tp lucu juga..she’s just 12 :))

    Like

  2. Aku ga sebegitunya sih Mel,saking dirimu berturut-turut baca Pride trus baca buku ini,jadi rada blenger kali ya? Haha. Pemikiran kaya Novi boleh juga tuh, dia baru 12, mudah-mudahan banyak belajar di tahun-tahun mendatang.hihihi

    Like

    1. huahaha..iya barangkali mel blenger habis kecewa sama pride and prejudice sekarang ketemu tokoh yang memuja2 pride and prejudice..wkwkwk.. eh tapi ini gak ada hubungannya sama sense and sensibility sama sekali yah..

      Like

  3. Sudah berkali buku ini saya lihat di toko buku, berkali juga membaca sinopsisnya, tapi tetap tak berminat. Setelah membaca resensimu, sepertinya bijak kalau saya membacanya di penyewaan buku saja =)

    (Ditimpuk pakai kamus)

    Like

  4. Ceritanya mengingatkanku pada film Aisha, versi Bollywood-nya Emma (Jane Austen) juga. Tapi tentu saja dia sudah dewasa, bukan anak 12 tahun:)

    Like

    1. Iya ya Mbak, salah satu yg bikin buku ini nggak masuk akal ceritanya ya karena si mak comblang Polly baru 12 tahun… seinget saya waktu umur 12 tahun yang ada di kepala saya kalo nggak pelajaran ya seneng2 sama temen2. Boro2 mikirin cinta, yg ada mah cinta monyet 😀

      Lagian klo cuma mengandalkan Pride and Prejudice buat “modal sebagai mak comblang” kok rasanya kurang pas juga yah :S

      Like

      1. Hahaha…kalau menurutku, usia karakter Polly nggak jadi masalah. Daya khayal anak zaman sekarang luar biasa. Mungkin seperti Matilda yang membuatku terperangah saking ajaibnya itu:D

        Like

  5. pertama baca reviewnya Mia, sekarang punya Melisa. Aku jadi ykin kalau si Polly ini emang lebay. hahaha. none of my tobe read kayaknya.

    Like

  6. Um, setidaknya aku sependapat deh kak. Memang agak nggak wajar kalau anak umur 12 tahun memikirkan hal yang namanya cinta, apalagi mencoba untuk mencomblangkan. Mungkun kalau disuruh baca buku ini aku bakalan malas banget untuk meneruskannya karena ide yang diangkat oleh penulisnya yang menurutku agak dangkal dan ga masuk akal. Dan aku setuju juga nih dengan rating yang kakak berikan, sesuai!

    Like

What do you think?