Nineteen-Eighty Four – George Orwell

[Review in Bahasa Indonesia and English]

“Kalau kamu ingin potret tentang masa depan itu, bayangkanlah sepatu bot yang menginjak wajah manusia—selama-lamanya.”

Selamat datang di Oceania. Tempat dimana Bung Besar berkuasa. Tempat dimana PERANG IALAH DAMAI, KEBEBASAN ADALAH PERBUDAKAN, dan KEBODOHAN IALAH KEKUATAN. Tempat dimana segala gerak-gerikmu diawasi oleh teleskrin. Tempat dimana perbendaharaan kata dalam bahasa diciutkan begitu rupa sehingga setiap kata yang melawan ortodoksi (kepatuhan penuh kepada Bung Besar) dipangkas habis.

Di Oceania inilah, tepatnya di London, Winston Smith hidup. Sebagai pegawai tekun dan andal yang bekerja di Kementerian Catatan dan sebagai anggota Partai Luar, Winston menghabiskan setiap hari dalam hidupnya menulis ulang artikel di koran The Times sehingga selalu seturut dengan agenda Partai. Hidup di Oceania yang terus menerus berperang, dalam pengawasan pemerintah yang maha hadir alias omnipresent, dan pengekangan individualisme dan kebebasan berpikir di bawah prinsip Sosing atau Ingsoc (English Socialism), suatu waktu Winston tidak kuasa menahan pemikiran mengenai suatu dunia sebelum Bung Besar berkuasa. Suatu dunia yang lain dengan dunia yang sekarang ini dikenalnya.

Winston menaruh harapan kepada O’Brien, salah satu anggota Partai Inti yang dicurigai Winston mempunyai pemikiran tak-ortodoks, dan adalah pengikut Emmanuel Goldstein yang menolak tirani Bung Besar, yang adalah pimpinan gerakan pemberontakan yang disebut Persaudaraan yang tidak jelas keberadaannya. O’Brien pernah berkata pada Winston, “Kita akan bertemu di tempat yang tidak ada kegelapan.” Seandainya saja Winston menemukan cara untuk berbicara kepada O’Brien mengenai mimpi yang dipendamnya! Namun dengan adanya teleskrin dan Polisi Pikiran yang mengawasi setiap tindakan, bahasa tubuh, dan kata-kata yang keluar dari mulut setiap orang, Winston mati kutu. Sedikit saja teleskrin mencium gelagat tak-ortodoks dari perilaku seseorang, itu bisa berarti orang tersebut akan diuapkan, yang berarti dihapus dari sejarah dan dianggap tidak pernah ada.

Pada suatu waktu, Winston dan rekan wanitanya Julia berkesempatan menghadap O’Brien tanpa diawasi teleskrin. Apakah O’Brien hendak mengundang mereka bergabung dalam Persaudaraan? Apakah Winston akan berperan dalam rencana penggulingan Bung Besar? Akankah Oceania pada akhirnya bebas?

“Kamu sadari bahwa masa silam, mulai dari kemarin, sudah sungguh-sungguh dihapus? […] Kita sudah tidak tahu apa-apa sama sekali tentang Revolusi dan tahun-tahun sebelum Revolusi. Semua catatan sudah dimusnahkan atau dipalsukan, setiap buku sudah ditulis ulang, setiap gambar telah dilukis atau dicat ulang, setiap patung dan jalan dan bangunan diberi nama baru, setiap hari dan tanggal kejadian sudah diubah. Dan proses itu terus berlangsung hari demi hari dan menit demi menit. Sejarah sudah berhenti. Tidak ada apa-apa lagi, kecuali suatu masa kini tanpa akhir yang di dalamnya Partai selalu benar.”

 

Tentang bahasa Newspeak:

“Tidakkah kamu lihat bahwa seluruh tujuan Newspeak ialah menyempitkan lingkup pemikiran? Pada akhirnya nanti kita akan membuat kejahatan pikiran sungguh-sungguh tidak mungkin, karena tidak akan ada kata untuk mengungkapkannya. Setiap konsep yang diperlukan akan diungkapkan dengan satu kata saja, yang maknanya didefinisikan secara ketat dan kaku dan segala pengertian embel-embelnya dihapus dan dilupakan. […] Setiap tahun jumlah kata menyusut dan makin menyusut, dan lingkup kesadaran selalu dipersempit. Bahkan sekarang pun, tentunya, tidak ada dalih untuk melakukan kejahatan pikiran. Ini cuma soal disiplin diri, pengendalian realitas. Tapi pada akhirnya itu semua tidak perlu lagi. Revolusi akan rampung ketika bahasanya sempurna. Newspeak adalah Sosing dan Sosing adalah Newspeak.” […] “Menjelang 2050—lebih awal lagi mungkin—segala pengetahuan yang ada tentang Oldspeak sudah akan lenyap. Seluruh pustaka masa lalu sudah akan dihancurkan. Chaucer, Shakespeare, Milton, Byron—semuanya hanya akan ada dalam versi Newspeak-nya, tidak hanya berubah menjadi sesuatu yang lain tetapi sungguh-sungguh dijadikan sesuatu yang bertentangan dengan versi sebelumnya.”

Novel bergenre literary political fiction dan dystopian science-fiction yang pertama kali terbit tahun 1949 ini ditulis oleh George Orwell sebagai ramalan akan masa depan, dan merupakan satir tajam terhadap totalitarianisme. Orwell mengungkapkan berbahayanya kediktatoran pemerintah, baik yang beraliran kiri maupun kanan, melalui gambaran yang tak terbayangkan dan mengerikan mengenai Oceania, Sosing, bahasa Newspeak, konsep pikir-ganda (doublethink) dan Bung Besar (Big Brother). Buku yang sempat dilarang beredar di beberapa negara atas kontroversinya ini termasuk dalam daftar 1001 Books You Must Read Before You Die, yang menjadi tema posting bareng BBI bulan Agustus. Dan apakah saya setuju bahwa buku ini harus dibaca sebelum anda menemui ajal? Jawabnya: ya. Karena menurut saya karya fiksi ini ada, sebagai suatu langkah peringatan, kalau tidak bisa disebut pencegahan, agar situasi di dalamnya jangan sampai terjadi di dunia nyata.

#postingbareng BBI bulan Agustus 2012 tema 1001 Books You Must Read Before You Die

Baca juga: Lasting Impression on Nineteen-Eighty Four (Eng)
Classic Author of July 2012: George Orwell (Ind)
Ulasan karakter Big Brother (Ind)


Detail buku:
Nineteen-Eighty-Four (1984), oleh George Orwell
585 halaman, diterbitkan tahun 2003 oleh Bentang Pustaka (pertama kali diterbitkan tahun 1949)
My rating: ♥ ♥ ♥ ♥ ♥


Review in English:

Welcome to Oceania. A world where Big Brother rules over everything and dictates everything. A world where WAR IS PEACE, FREEDOM IS SLAVERY, IGNORANCE IS STRENGTH. A world where you’re being watched 24 hours a day, 7 days a week. A world where there is no place for individualism and freedom to think, to act, to speak. A world where humanity is dead. George Orwell wrote this literary political and dystopian science-fiction novel as a grim picture of the future. Through this sharp satire to totalitarianism, Orwell pointed out the danger of dictatorial government whether it is left or right ideology in a depressing, frightening, and unimaginable description of Oceania, Ingsoc, Newspeak language, the concept of doublethink, and Big Brother himself. The book that has been widely banned for its controversial ideas is in the 1001 Books You Must Read Before You Die list. And do I, as a reader, agree that Nineteen-Eighty Four should be read before I die? The answer is yes. Because I think George Orwell meant this work to be a word of caution, if not prevention; so that the situation in his novel won’t come into reality.

12th review for The Classics Club Project, 8th review for The Classic Bribe

44 thoughts on “Nineteen-Eighty Four – George Orwell

    1. hahaha… idenya yang bikin aku kasih bintang 5. bikin ternganga deh pokoknya.
      aku sih gak bosan baca buku ini, haunting soalnya. paling yang pas bagian bukunya si Goldstein aja yg bikin cekot-cekot.

      Like

  1. Suka reviewnya 😀
    Emang buat pecinta buku paling serem bagian Newspeak itu, kita mau baca apa coba 😐

    Like

  2. membaca buku ini serasa hidup di jaman orde baru. saya jadi berkesimpulan bahwa penguasa tiran selalu mengontrol kehidupan rakyatnya secara absolut. dan karena itulah mereka bisa bertahan.

    Like

    1. Ya, itulah salah satu kehebatan buku ini. Terbit 1949, bersetting tahun 1984, tapi isinya punya relevansi kuat ke pemerintahan beberapa negara (walau gak sama persis) dan nggak lekang dimakan zaman juga.

      Like

  3. wow di kasih lima bintang ma Mel. Wajib baca ini.
    Setelah terkagum-kagum ma Animal Farm, semoga 1984 juga akan membuatku sama terkesannya.

    Like

  4. Wow, keren ya genre dystopia yg termasuk hisfic juga ini. Buku-buku dystopia memang bny dijadikan sbg kritik sosial atas situasi politik saat ini dan/atau akan terjadi. Bukunya uda diterjemahkan blm ya? Kapan2 baca aaah~

    Like

    1. Ini bukan hisfic, kalo hisfic itu ada bagian2 dari novel yang faktual alias benar-benar terjadi sementara 1984 lebih ke satir (jadi isinya menyindir situasi politik di pemerintahan tertentu) gitu. Udah kok ini aku baca terjemahan Bentang Pustaka.

      Like

  5. ini buku distopian yg banyak dicari nih mbak, tapi liat reviewnya kok sepertinya nggak sanggup bacanya yah, berat banget 😦

    ga ada actionnya ya mbak, full dramakah?

    Like

  6. I am really looking forward to reading this for the club. I’m still amazed that this wasn’t in my school’s curriculum… though I suppose we did read Animal Farm instead! -Sarah

    Like

    1. I think this book is a bit heavy for school students…but since the curriculum in our countries are different then I can’t really say 😀 all I can say is that after I read this book, I came to understanding that the last thing we should give our government is blind obedience.

      Animal Farm is on my list too — I still don’t know when I’m going to read it!

      Like

  7. George Orwell ini sering banget wara wiri di TL akhir-akhir ini, plus banyak anggota BBI baca bukunya beliau juga sik. Saya belum ‘berani’ baca buku macam gini, entah kenapa baca dystopian itu melelahkan batin :p

    Tapi i will give it a try, maybe dimulai dengan Animal Farm yang tipis dulu deh, secara bulan ini mau baca GwtW :p

    Like

    1. terjemahan versi Bentang ini “rasa”nya bener2 sastra Indonesia, tapi kalo buatku nggak menjadi masalah sih. tapi memang paling pas baca dlm versi aslinya 🙂

      Like

  8. I liked 1984…but I liked We, by Yevgeny Zamyatin better….probably because I knew that book was Wells’ inspiration. They are really quite similar. But both enjoyable in their own right. Thanks for the interesting review!

    Like

  9. aduhh mel..baca reviewmu bikin labil nih..baca..gak…baca…gak..baca…gak…hahahhaa a bit heavy kayaknya yaa…tpi akan kucoba lah..siapa tau aku suka kan yakkk 😀

    Like

  10. Katanya George Orwell adalah ‘bapak’ dari penulis genre dystopian, jadi belum boleh ‘ngaku’ penggemar dystopian kalo belum baca buku ini. Sayangnya, buku ini masih duduk manis di timbunan dan membaca review-mu, jadi malah maju-mundur antara mau baca atau gak… 😀

    Like

  11. Buku ini ibarat Einstein. Mulanya dianggap gila dan kudu disingkirkan, tetapi setelah ditilik lebih dalam yang membutuhkan waktu cukup lama, barulah keluar pesonanya–bahkan nggak tanggung2, langsung melejit di seluruh dunia dan abadi sampai sekarang dan seterusnya. Diakui, dikagumi, dibanggakan. Dijadikan pedoman dan acuan. Yah, itulah kejeniusan yang sejati.
    By the way, reviewmu nggak kalah keren dari bukunya. Ringkasannya pas mantab–nggak ada menu sop iler. Quotesnya nancep dan nendang, bikin pembaca kepincut dan pingin beli bukunya ASAP. Pendapat pribadinya juga ada, dan salut sama kesimpulan mbak Mel, fabulous fabulous!!!

    Like

  12. Ini buku yang tidak pernah berhenti jadi pembahasan antara saya dan beberapa teman di beberapa grup pembaca buku. Bahkan, segera menjadi buku pembahasan wajib bulan Maret 2014 (per tanggal 28/03/15) di grup WA Klub Buku Indonesia. Saya sendiri pernah mencoba membuat review buku ini, masih amatir sih huehe. Apalagi, saya mencoba membuat review buku ini ketika baru mencoba membuat blog buku. Jadi, masih meraba-raba bentuk review buku a la saya, hehe. Kalau berminat membacanya, bisa dilihat di sini http://kata-nia.blogspot.com/2014/04/book-review-1984-by-george-orwell.html

    Kekurangan mendasar dari buku ini, bagi saya, adalah ending yang too predictable. Rasanya kurang “greget” saja, apalagi jika saya membandingkan dengan beberapa buku dystopia lain yang pernah saya baca; ambil contoh, Brave New World karya Aldous Huxley. Tetapi, sebagai bahan kajian, 1984 memang menarik sekali. Walau terkadang saya “bosan” jika lagi-lagi “terjebak” di dalam pembahasan buku ini di beberapa grup pembaca buku yang saya ikuti, tetap saja, pesona 1984 memang terlalu keren untuk dicueki begitu saja, hahaha.

    Like

What do you think?